
Oleh : Junaidi Rusli
Publik baru-baru ini dikejutkan oleh beredarnya surat dari Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg) Nomor B-20/M/S/AN.00.03/09/2025 tanggal 17 September 2025. Surat tersebut menyampaikan bahwa Presiden menunjuk Wakil Menteri BUMN, Dony Oskaria, untuk melaksanakan tugas Menteri BUMN sampai dengan adanya pengangkatan menteri definitif.
Sekilas, surat itu terlihat formal dan sah. Namun, jika ditelaah lebih jauh, muncul pertanyaan mendasar: apakah penunjukan wakil menteri untuk menjalankan tugas seorang menteri dapat sah hanya dengan dasar surat Mensekneg?
Pertama, perlu ditegaskan bahwa dasar hukum pengangkatan menteri dan wakil menteri berada di tangan Presiden, sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Presiden berwenang mengangkat menteri dan, bila perlu, wakil menteri. Keputusan tersebut harus dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres), bukan sekadar surat administrasi dari pembantu Presiden.
Kedua, surat Mensekneg pada dasarnya hanyalah alat komunikasi administratif untuk menyampaikan keputusan Presiden. Namun dalam surat ini, redaksinya bisa menimbulkan tafsir bahwa seolah-olah Mensekneg yang “menunjuk” langsung wakil menteri sebagai pelaksana tugas menteri. Padahal, hal tersebut bukanlah kewenangan Mensekneg. Jika tidak ada Keppres yang secara eksplisit menetapkan penunjukan pelaksana tugas, maka legalitasnya dapat dipertanyakan.
Ketiga, persoalan ini bukan sekadar masalah formalitas. Jabatan Menteri BUMN menyangkut kebijakan strategis dan pengelolaan aset negara bernilai ratusan triliun rupiah. Legitimasi pejabat yang menduduki posisi tersebut harus jelas dan tidak boleh sekadar bergantung pada surat administrasi. Jika tidak, maka akan muncul celah hukum, bahkan bisa menimbulkan dualisme kewenangan antara wakil menteri dengan pejabat eselon I di lingkungan BUMN.
Keempat, dari perspektif tata kelola pemerintahan, langkah seperti ini dapat menimbulkan krisis legitimasi publik. Wajar bila masyarakat bertanya: apakah wakil menteri BUMN benar-benar sah menjalankan tugas sebagai menteri, atau sekadar acting berdasarkan surat birokrasi?
Dengan demikian, penting untuk meluruskan persoalan ini. Hak prerogatif Presiden tidak boleh direduksi menjadi sekadar surat dari pembantu Presiden. Untuk menjamin kepastian hukum dan akuntabilitas, seharusnya penunjukan pelaksana tugas menteri dituangkan dalam Keppres, bukan hanya surat Mensekneg.
Jika tidak segera diperjelas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya legalitas jabatan, melainkan juga kepercayaan publik terhadap tata kelola negara.